Moody's: Indonesian developers financially stronger than similarly rated Chinese counterparts Size, foreign currency risks constrain Indonesian developers' ratings

Singapore, June 26, 2015 -- Moody's Investors Service says that of the B2-Ba3 Indonesian and Chinese property developers that it rates, Indonesian developers as a whole will continue to show higher profitability levels and stronger debt structures over the next 12 months.

"In addition, of the B2-Ba3 developers that we rate, Indonesian property developers have captured stronger domestic market positions when compared with their Chinese peers; a situation which provides the former with greater financial and operational flexibility," says Jacintha Poh, a Moody's Assistant Vice President and Analyst.

However, Poh also explains that the smaller size of the property market in Indonesia will constrain revenue growth for Indonesian developers and prevent them from reaching the operating scale and geographic diversity of their Chinese peers.

"As for Chinese developers, their cash receipts are less predictable when compared with their Indonesian counterparts, because of government interventions which result in price and demand volatility," says Dylan Yeo, a Moody's Analyst.

Moody's analysis is contained in its just-released report titled "Property -- Indonesian and Chinese Developers with B2-Ba3 Ratings: Indonesian Developers Are Financially Stronger Than Chinese Counterparts," and is co-authored by Poh and Yeo.

Moody's report points out that Indonesian developers demonstrate stronger liquidity profiles because their near-term refinancing risks are lower and their cash to short-term debt ratios are higher, as their debt structures consist mainly of long-dated bullet maturity bonds.

However, Indonesian developers are exposed to more foreign-currency risk. They exhibit a higher portion of US dollar bonds in their debt structure, and the rupiah is more volatile against the US dollar when compared with the renminbi. This exposure raises their funding costs when the rupiah depreciates against the dollar; as has been the case over the past four years.

Moody's report also says that while developers in both Indonesia and China will face margin pressure over the next 12 months, Indonesian developers will record higher margins than their B2-Ba3 Chinese peers, because while the formers' land and construction costs are rising, such costs are still lower in Indonesia and the pricing power of Indonesian developers is greater.

In addition, land cost is a larger component of cost of sales for Chinese developers when compared with their Indonesian peers, because Chinese developers benefit from a shorter period of land appreciation, due to their fast turnover business models. Moreover, competition in the Chinese property sector has driven up prices for land auctioned by the government.

Because of the need to maintain liquidity and service funding costs, most Chinese developers rated in the B2-Ba3 range exhibit a land bank life of about 3-5 years and must replenish their land bank more frequently than their Indonesian peers.

Subscribers can access the report at http://www.moodys.com/viewresearchdoc.aspx?docid=PBC_1000942.

Moody's offers complimentary access to its new topic page, China -- Reform and Rebalancing; a centralized source for Moody's research related to key credit issues in China as the country's rebalancing story unfolds. This report is part of Moody's ongoing coverage on this theme. Register today at www.moodys.com/chinarebalancing for access to all research on this page.


PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015



KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH
DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA

Menimbang : 
  1. bahwa Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Bahwa penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga diperlukan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah;
  3. bahwa untuk mewujudkan kedaulatan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah, perlu diterapkan kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
  4. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran berwenang mengatur kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank

-2- MEMUTUSKAN . . .
Indonesia tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Mengingat : 
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
  3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); 

Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. 

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
  1. Rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang.
  3. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.

BAB II
KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH

Pasal 2
(1) Setiap pihak wajib menggunakan Rupiah dalam transaksi yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang;
dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya.

b. transaksi . . .

Pasal 3
(1) Kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku untuk:
a. transaksi tunai; dan
b. transaksi nontunai.
(2) Transaksi tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup transaksi yang menggunakan uang kertas dan/atau uang logam sebagai alat pembayaran.
(3) Transaksi nontunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup transaksi yang menggunakan alat dan mekanisme pembayaran secara nontunai.

BAB III
PENGECUALIAN KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH

Pasal 4
Kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku bagi transaksi sebagai berikut: 
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.

Pasal 5
Kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga tidak berlaku untuk transaksi dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang meliputi:
a. kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah;

2. konsumsi . . .
b. transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan
surat berharga syariah negara; dan 
c. transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan

Undang-Undang.

Pasal 6
Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
a. pembayaran utang luar negeri;
b. pembayaran utang dalam negeri dalam valuta asing;
c. belanja barang dari luar negeri;
d. belanja modal dari luar negeri;
e. penerimaan negara yang berasal dari penjualan surat utang negara dalam valuta asing; dan
f. transaksi lainnya dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 7
Penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b hanya dapat dilakukan oleh penerima atau pemberi hibah yang salah satunya berkedudukan di luar negeri.

Pasal 8
(1) Transaksi perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c meliputi:
a. kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia; dan/atau
b. kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara yang dilakukan dengan cara:

1. pasokan lintas batas (cross border supply); dan
b. proyek . . .
2. konsumsi di luar negeri (consumption abroad).
(2) Transaksi untuk kegiatan tambahan dalam kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dikategorikan sebagai transaksi perdagangan internasional sehingga wajib menggunakan Rupiah.

Pasal 9
(1) Transaksi pembiayaan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e hanya dapat dilakukan oleh pemberi atau penerima pembiayaan yang salah satunya berkedudukan di luar negeri.
(2) Dalam hal pemberi pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Bank maka wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak asing.

BAB IV
LARANGAN MENOLAK RUPIAH

Pasal 10
(1) Setiap pihak dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah
dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal:
a. terdapat keraguan atas keaslian Rupiah yang diterima untuk transaksi tunai; atau
b. pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing telah diperjanjikan secara tertulis.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan untuk:
a. transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5; atau

c. menunjuk . . .
b. proyek infrastruktur strategis dan mendapat persetujuan Bank
Indonesia.

BAB V
PENCANTUMAN HARGA BARANG DAN/ATAU JASA

Pasal 11
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pelaku usaha wajib mencantumkan harga barang dan/atau jasa hanya dalam Rupiah.

BAB VI
LAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN

Pasal 12
(1) Bank Indonesia berwenang untuk meminta laporan, keterangan, dan/atau data kepada setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan/atau data yang diminta oleh Bank Indonesia.

Pasal 13
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak dalam melaksanakan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menempuh berbagai cara antara lain sebagai berikut: 
a. meminta laporan, keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait;
b. melakukan pengawasan langsung terhadap setiap pihak; dan/atau

BAB VIII . . .
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 14
Kegiatan yang berupa:
a. penukaran valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
b. pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar wilayah pabean Republik Indonesia yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak dikategorikan sebagai transaksi yang wajib menggunakan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pasal 15
Dalam melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain.

Pasal 16
Dalam hal terdapat permasalahan bagi pelaku usaha dengan karakteristik tertentu terkait pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

kepada . . .

BAB VIII
SANKSI

Pasal 17
Terhadap pelanggaran atas:
a. kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a; dan/atau
b. larangan menolak Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Pasal 18
(1) Pelanggaran atas kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. kewajiban membayar; dan/atau
c. larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 19
Pelanggaran atas kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan kewajiban penyampaian laporan, keterangan, dan/atau data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.

Pasal 20
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19, Bank Indonesia dapat merekomendasikan

Agar . . .
kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21
(1) Perjanjian tertulis mengenai pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing selain perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang dibuat sebelum tanggal 1 Juli 2015, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tertulis tersebut.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk perjanjian tertulis mengenai pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.
(3) Perpanjangan dan/atau perubahan atas perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.

Pasal 23 
Ketentuan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2015.

Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 70
DPU

mengenai . . . 
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Rupiah sebagai mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diperlukan untuk mendukung kestabilan nilai tukar Rupiah yang merupakan bagian dari tujuan yang diamanatkan kepada Bank Indonesia dalam Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam kondisi pasar valuta asing di dalam negeri mengalami kelebihan permintaan valuta asing, penggunaan valuta asing untuk transaksi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan memberikan tambahan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dimana hal ini berpotensi mengganggu stabilitas nilai Rupiah. Sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia dalam pengaturan terhadap Rupiah maka diperlukan pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik untuk transaksi tunai maupun transaksi nontunai. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang


Ayat (2) . . .
mengenai mata uang yang mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mendukung perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu tetap memperhatikan adanya kebutuhan penggunaan valuta asing dalam masyarakat yang diperkenankan berdasarkan Undang-Undang. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini telah disusun dengan memperhatikan Undang- Undang, seperti Undang-Undang mengenai perbankan, Undang- Undang mengenai Bank Indonesia, Undang-Undang mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar, Undang-Undang mengenai surat utang negara, Undang-Undang mengenai perbankan syariah, Undang- Undang mengenai surat berharga syariah negara, Undang-Undang mengenai transfer dana, dan Undang-Undang mengenai mata uang. Penerapan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan dengan memperhatikan kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional.

terinpirasi merupakan suatu hal yang besar, menginspirasi merupakan hal yang luar biasa
ATURAN BI TENTANG UANG MUKA KPR/KPA



Bank Indonesia (BI) menerapkan aturan loan to value ratio (LTV) untuk membatasi kredit sektor property terkait Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen. Pertumbuhan sektor properti yang pesat di Indonesia mendorong BI sangat berhati-hati agar tidak terjadia buble property seperti kejadian di negara Amerika serikat. karena akan berdampak parah terhadap perekonomian.

Bank Indonesia sendiri beralasan karena adanya kegiatan pembelian KPR/KPA/Ruko untuk sarana investasi dan spekulasi Walaupun terkesan lamban, dibandingkan negara-negara tetangga kita tapi kita bersyukur karena ada langkah konkret dari Bank Indonesia untuk mencegah terjadinya buble property. Rencananya aturan LTV akan mulai berlaku tanggal 1 September 2013.

Apakah loan to value ratio (LTV)? LTV adalah pembiayaan bank di luar down payment (DP). Berikut adalah maksimal LTV/FTV dari KPR dan KPRS dari Bank Indonesia untuk bank konvensional.
 
KREDIT/PEMBIAYAAN/AGUNAN
MAKSIMAL LTV/FTV
FK/FP 1
FK/FP 2
FK/FP 3 DST
KPR TIPE >70
70%
60%
50%
KPRS TIPE >70
70%
60%
50%
KPR TIPE 22–70
-
70%
60%
KPRS TIPE 22-70
80%
70%
60%
KPRS TIPE SD 21
-
70%
60%
KP RUKO/RUKAN
-
70%
60%

Sumber: www.bi.go.id

Ket:          FK: FASILITAS KREDIT; FP: FASILITAS PEMBIAYAAN

KPRS: KREDIT PEMILIKAN RUMAH SUSUN

  
Berikut penjelasan dari table di atas:

1.       KPR/KPRS TIPE > 70

·         Maksimal pembiayaan Bank untuk rumah/apartemen ke-1 adalah 70% berarti Anda sebagai debitur harus menyiapkan pembiayaan sisanya yaitu 30% dari total pembiayaan. Misalnya harga rumah Rp. 100 juta, maka pembiayaan Bank maksimal yang Anda peroleh adalah Rp. 70  juta, sedangkan Anda sebagai debitur harus juga menyiapkan dana (DP) Rp. 30 juta untuk membeli rumah/apartemen tersebut.

·         Maksimal pembiayaan Bank untuk rumah/apartemen ke-2 adalah 60%, berarti Anda sebagai Debitur harus menyiapkan juga dana (DP) 40% dari total pembiayaan rumah/apartemen.

·         Maksimal pembiayaan untuk rumah/apartemen ke-3 dan seterusnya adalah 50% berarti Anda harus menyiapkan dana (DP) sebesar 50% dari total pembiayaan.

2.       KPRS TIPE 22 – 70 untuk rumah/apartemen ke-1 adalah 80%, hal ini berarti maksimal pembiayaan Bank yang diberikan kepada Anda sebagai debitur adalah 80% dan Anda juga harus menyiapkan dana (DP) sebesar 20% dari total pembiayaan.

3.       KPR TIPE 22 – 70, KPRS SD 21 dan KP RUKO/RUKAN untuk rumah/apartemen ke-1 tidak ada maksimal pembiayaan oleh Bank, sehingga hal ini dikembalikan kepada kebijakan internal dari masing-masing Bank.

 Cukup jelas? J

PERJANJIAN KREDIT
 
 
Mendengar perjanjian kredit mungkin suatu hal yang lumrah bagi orang-orang yang sering meminjam ke Bank, tetapi mungkin suatu yang asing di telinga apabila tidak pernah menggunakan fasilitas pinjaman dari Bank.

Sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian kreditur dan debitur dimana kreditur meminjamkan uang dalam jumlah tertentu dan debitur berjanji untuk mengembalikan uang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disertai dengan pembayaran bunga.  

Jadi dari definisi diatas bisa disimpulkan bahwa ada 2 pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit, yaitu kreditur (Bank) dan Debitur (Peminjam).

Nah taukah Anda dalam perjanjian kredit ada klausula yang dapat digolongkan menjadi 2 bagian yaitu:

  1. Klausula Hukum (legal clauses)

Klausula hukum adalah klausula yang berisikan ketentuan-ketentuan hukum yang biasanya berlaku untuk pemberian fasilitas kredit. Termasuk dalam klausula ini antara lain: seperti klausula perlindungan Bank, debet rekening, syarat sebelum pencairan pinjaman (Condition Precedent), pernyataan Jaminan (Representation and Warranties), hal-hal yang bisa atau tidak boleh dilakukan selama perjanjian kredit (covenant) dan lain-lain.

  1. Klausula Komersial (commercial clauses)

Klausula komersial adalah klausula yang berkaitan dengan aspek komersial, seperti jenis fasilitas kredit, jumlah fasilitas kredit, jangka waktu kredit, ketentuan pembayaran besarnya angsuran, ketentuan tentang denda dan bunga, asuransi, dan lain-lain.

Kemudian apa-apa saja yang menjadi asas-asas dalam perjanjian, antara lain:

  • Asas konsensualisme, berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya perjanjian sudah terjadi sejak tercapainya kata sepakat.
  • Asas terbuka, artinya adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-Undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang, kepatutan dan ketertiban hukum.
  • Asas kepribadian (personaliteit), berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal – tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberikan kesepakatannya.

Syarat supaya sahnya perjanjian kredit (ps. 1320 KUH Perdata) antara lain:

  1. Adanya kata sepakat antara kreditur dan debitur, artinya kedua belah pihak setuju mengenai hal-hal pokok dalam kontrak
  2. Cakap dalam melakukan perbuatan hukum, maksudnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Menurut KUHP Perdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki, dan 19 tahun bagi wanita.
  3. Hal tertentu yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau barang yang jelas.
  4. Suatu sebab/causa yang halal, artinya hal yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kemudian bagaimana akta perjanjian kredit dibuat, yaitu:

  1. Di bawah tangan :

ü  Dibuat oleh Pejabat yang berwenang

ü  Dilegalisasi oleh Pejabat yang berwenang/Notaris

  1. Notariil

ü  Dibuat di hadapan Notaris

Demikian sedikit penjelasan mengenai perjanjian kredit, semoga bermanfaat.

 

 

 

INGIN MENJADI REKANAN/VENDOR BANK?

                                                    sumber: www.leadingwithtrust.com

 
Menurut UU RI No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bawah usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Dari pengertian di atas di luar kegiatan pokok bank adalah kegiatan pendukung.
 
Dengan semakin kompleksnya kegiatan dan produk dari perbankan, mendorong bank-bank untuk menggunakan rekanan dalam kegiatan operasional Bank. Dengan demikian Bank dapat lebih memusatkan perhatian kepada kegiatan kegiatan inti perbankan dan pada saat yang sama kegiatan pendukung inti perbankan akan dapat terlaksana dengan baik.

Penggunaan rekanan dalam kegiatan operasional Bank dimaksudkan untuk:

a)      Mengalihkan kegiatan yang bukan merupakan kegiatan inti perbankan kepada pihak yang mempunyai keahlian di bidang tersebut, misalnya outsourcing dan services.

b)      Memenuhi kebutuhan Bank sebagai pengguna (end user), misalnya purchasing, renting dan insurance.

Dengan demikian apakah yang dimaksud dengan rekanan/vendor?

Rekanan atau Vendor adalah badan usaha atau perorangan yang dipilih oleh Bank untuk melakukan kerjasama berdasarkan perjanjian tertulis, dalam bentuk penyediaan jasa atau layanan atau barang yang diperlukan untuk menunjang kegiatan operasional Bank.

Nah, kemudian kegiatan operasional Bank apa saja yang memerlukan kerjasama dengan Rekanan/Vendor antara lain sebagai berikut:

a)      Purchasing/pembelian, misalnya pembelian inventaris dan alat tulis kantor, pembelian peralatan teknologi (misalnya laptop, computer, televisi dll) dan aktiva tetap lainnya.

b)      Outsourcing/pelaksanaan oleh pihak di luar Bank, misalnya penyimpanan dokumen-dokumen berharga Bank, penilaian agunan kredit (appraisal), jasa pengacara (lawyer) dalam rangka penyelesaian kredit macet, jasa supir kantor dan lain-lain.

c)      Services/Layanan, misalnya penghantaran uang tunai, pemeliharaan kebersihan kantor (cleaning service), pengelolaan dan penyediaan air minum, pencetakan statement dan layanan keamanan (security).

d)      Renting/Penyewaan, misalnya sewa kendaraan, sewa gedung, sewa mesin fotokopi dan lain-lain.

e)      Insurance/Asuransi, misalnya asuransi uang tunai, asuransi inventaris dan aktiva tetap lainnya, asuransi karyawan dan lain-lain.

 
Nah, apabila Anda memiliki salah satu jenis usaha/jasa yang dibutuhkan Bank. Apakah Anda tau bagaimana menjadi rekanan/vendor Bank?

Calon rekanan wajib pada umumnya mengajukan proposal atau surat penawaran kerjasama yang menyebutkan harga penawaran, barang atau layanan yang ditawarkan dan dilampiri dokumen sebagai berikut:

  • Dokumen pendirian badan usaha dan jenis usaha, kecuali rekanan perorangan.
  • Bukti penunjukan sebagai agen atau ahli dalam bidang tersebut.
  • Riwayat usaha dan proyek yang telah dilakukan.
  • Pernyataan jaminan purna jual atau kesinambungan layanan.
  • Pernyataan rekening untuk melakukan pembayaran.
Bagaimana penjelasan di atas? Anda mau mencoba menjadi rekanan/vendor Bank? J

RUMAH/APARTEMEN SITAAN BANK DI LELANG, ANDA MAU?


                                                         sumber: www.rumah.com

 
Nilai kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) kredit pemilikan rumah (KPR) dan apartemen (KPA) meningkat pesat. Menurut data Bank Indonesia (BI)  per Januari 2013, NPL KPR mencapai Rp 5,38 triliun atau naik 35% (year on year/yoy). Sedangkan NPL KPA atau flat naik 65% menjadi Rp 101 miliar dan NPL ruko atau rukan naik 46% menjadi Rp 418 miliar. Rasio NPL rumah tipe 21 (sangat sederhana) ini naik menjadi 4,5% per Januari 2013 dari posisi bulan sebelumnya 1,5%. Sedangkan rasio NPL rumah tipe 22 meter - 70 meter naik menjadi 3%, serta rumah tipe di atas 70 meter menjadi 1,66%.

Data tingginya NPL ini mungkin sedikit menakutkan Anda, bahwa banyaknya debitur-debitur KPR/KPA yang tidak mampu untuk melunasi hutangnya ke Bank. Tapi taukah Anda ini merupakan kesempatan bagi Anda?

 Rumah/apartemen sitaan merupakan jaminan debitur yang telah disita oleh bank, karena pemiliknya tidak dapat mengembalikan kredit yang diterimanya (macet). Bank sebagai kreditur akan berusaha untuk menjual rumah sitaan ini untuk mengurangi kerugiannya. Sebelum melakukan penjualan, maka Bank akan menilai (appraisal) terhadap nilai rumah tersebut.

Prosesnya bisa dijual langsung atau masuk ke balai lelang. Ingin lebih jelas prosesnya? Mari saya jelaskan satu persatu seperti di bawah ini:

1.      Proses langsung

Bank pada awalnya akan menawarkan kepada debitur untuk mencari pembeli yang berminat atau dapat juga melalui broker (perantara).

Bank akan menginformasikan penjualan rumah/apartemen sitaan melalui surat, email, media surat kabar, telepon dan lain-lain.

Kelebihan dari proses langsung ini adalah broker tidak bisa seenaknya menentukan nilai jual rumah, melainkan ditetapkan sendiri oleh Bank sebagai kreditur. Broker akan bekerja berdasarkan kesepakatan komisi antara Bank dan Broker. Dengan demikian Anda dihindarkan harga jual yang terlalu tinggi, karena Broker rumah biasanya ingin menjual harga tinggi untuk memperoleh untung.

2.      Proses lelang, 

Proses lelang yaitu melalui balai lelang swasta atau pemerintah yang ditunjuk kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang (KPKNL). Di balai lelang sendiri terdapat 2 sistem lelang antara lain:

1.      Lelang terbuka: penawaran  langsung oleh peserta lelang dengan harga tertinggi. Disini setiap orang dapat saling mengalahkan dari sisi harga beli. Pemenang adalah pihak yang berani membeli dengan harga paling tinggi. Kalau Anda orang yang emosional sebaiknya hindari sistem lelang ini, karena bisa-bisa Anda menawar di atas dari harga pasar sehingga harga rumah/apartemen menjadi mahal.

2.      Lelang tertutup: penawaran dengan menggunakan amplop dengan penawaran harga tertinggi. Setiap pihak yang ingin membeli akan menulis harga pembelian di kertas dan dimasukkan ke dalam amplop. Pihak yang menulis harga tertinggi di amplop akan ditetapkan sebagai pemenang lelang.

Dari penjelasan diatas Anda dapat memilih baik sistem langsung atau sistem lelang untuk membeli rumah/apartemen sitaan. Namun saya mengingatkan Anda untuk mengecek dan memeriksa rumah/apartemen yang Anda hendak beli dengan baik-baik. Jangan sampai Anda seperti membeli kucing dalam karung karena tidak mengetahui kualitas rumah/apartemen yang hendak dibeli.
Demikian penjelasannya, apakah Anda mau mencoba membeli rumah/apartemen di lelang? J